Sabtu, 06 Desember 2008

Tantangan Perguruan Tinggi


Di era globalisasi ini, tawuran antar mahasiswa sering terjadi. Padahal, akar masalah hanyalah sepele. Namun akibat yang ditimbulkannya luar biasa parah. Korban pun berjatuhan, baik dari pihak mahasiswa sendiri maupun pihak lain yang akan melerai. Banyak yang menuduh ini ulah provokator. Tawuran menjadi tip of iceberg dari krisis yang dihadapi mahasiswa dan bahkan perguruan tinggi--disebut PT—pada umumnya. Krisis-krisis yang dihadapi perguruan tinggi—mahasiswa salah satunya—jelas bukan menyangkut kinerja PT dalam hal kualitas akademik lulusannya, tetapi juga dalam hal mentalitas, moral, dan karakter. Dalam krisis mentalitas dam moral mahasiswa, terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral di lingkungan PT (cf Djohar, 1999; Navis, 1999).

* Pertama, arah pendidikan telah kehilangan obyektivitasnya. PT tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlak, di mana mereka mendapat koreksi tentang tinadakan-tindakannya; salah atau benar; baik atau buruk.

* Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan PT. Lembaga pendidikan ini cenderung lupa pada fungsinya untuk turut mendewasakan mahasiswa; mempersiapkan mereka untuk meningkatkan kemampuan meresponi dan memecahkan masalah-masalah dirinya sendiri maupun orang lain.

* Ketiga, proses di PT sangat membelenggu mahasiswa dan bahkan dosen. Hal ini karena formalisme PT dan beban kurikulum yang sangat berat (overloaded). Akibatnya, hampir tidak tersisa lagi ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas intelektualnya. Lebih parah lagi, interaksi akademis yang berlangsung hampir kehilangan human dan personal touch-nya.

* Keempat, kalaupun ada materi yang menumbuhkan rasa afeksi—seperti matakulia agama—itu umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme yang juga disertai dengan rote-memorizing. Matakuliah agama cenderung hanya untuk sekadar diketahui dan dihafalkan agar lulus ujian, tetapi tidak untuk diinternalisasikan dan dipraktikkan. Krisis mentalitas dan moral mahasiswa, bagaimanapun juga merupakan cermin dari krisis mentaliats dan moral dalam masyarakat lebih luas. Oleh karena itu, upaya mengatasi krisis tidak memadai jika dilakukan hanya di lingkungan PT, tetapi juga dalam keluarga dan lingkungan lainnya.


Dalam deklarasi “World Conference on Higher Education “ (UNESCO, Paris, 5-9 Oktober 1998) menyangkut misi dan fungsi utuk membantu melindungi dan memperkuat nilai-nilai yang membentuk dasar kewarganegaraan demokratis, dan dengan memberikan perspektif kritis dan membantu dalam pembahasan tentang pilihan-pilihan strategis serta pengamatan perspektif humanistik. Menurut deklarasi, lembaga-lembaga pendidikan tinggi, personal PT dan para mahasiswa, haruslah menjaga dan mengembangkan fungsi-fungsi krusial mereka dengan pelaksanaan etika; budaya, dan sosial secara independen sepenuhnya dan sadar betul tentang tanggung jawab mereka.

Pendidikan setidaknya mampu mengembangkan lima bentuk kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan praktikal, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual dan moral. Kelima bentuk kecerdasan ini harus dikembangkan secara simultan. Jika berhasil dilakukakn dengan baik, akan menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas dalam hal lain. Di sinilah terletak penekanan utama proses pendidikan, seperti yang dikemukakan Deklarasi UNESCO dan paradigma baru pendidikan nasional, bahwa pendidikan harus berpusat pada peserta didik.

dikutip dari forum sains.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

theme: auter space :: download this template for free from template.azimat.net